Produksi : Film Workshop, China Film Group, Distribution Workshop, 2011
Cast
Jet Li as Zhou Huai'an
Zhou Xun as Ling Yanqiu
Chen Kun as Yu Huatian
Li Yuchun as Gu Shaotang
Kwai Lun-mei as Tribal princess
Louis Fan as Ximen killer
Mavis Fan as Jin Xiangyu
Wu Di
Zhuang Guoqi
Li Yuan as Stunt double/Stuntman
Kalau Anda penggemar film-film silat, istilah ‘Dragon Inn’ pasti tak asing. Persepsinya ke penginapan fiktif dalam kisah-kisah martial arts yang dikelola dan dihuni para bandit, yang diinspirasi dari cerita silat kuno hingga film-film western. Namun penggagas awal yang menggunakan nama ini, meski penginapan-penginapan sejenis sudah muncul di banyak cerita silat sebelumnya, adalah seorang sutradara legendaris era Shaw Brothers bernama King Hu. Ia banyak dianggap sebagai pionir perubahan film silat menjadi lebih bergaya
barat dengan karakter-karakter pendekar yang nyaris ber-cara kerja mirip spionase, namun kerap membenturkannya dengan agen-agen kerajaan yang lebih banyak menjadi antagonis. Hu sendiri mengakui ciri ini terinspirasi oleh ketidaksukaannya atas latar karakter James Bond yang tengah jadi trend di seluruh dunia saat itu. Mungkin ada hubungannya dengan politik Cina saat itu, sehingga Hu lebih banyak mengadopsinya menjadi jagoan yang lebih membumi dan justru datang dari kalangan rakyat biasa. Ciri khas lain dalam karya-karya Hu sedikit banyak juga dipengaruhi dari aliran wuxia masa itu, dimana hampir selalu ada tokoh eunuch (terjemahan Indonesianya adalah kasim), yang merupakan panglima kerajaan yang dikebiri hingga kerap muncul seperti wanita, sementara kebalikannya, swordswoman yang suka menyamar atau berkarakter seperti pria. However, mostly, Hu banyak memasukkan style film barat ke dalam karyanya, sebagai sebuah wuxia mystery, namun tetap dengan filosofi Cina yang kental dengan intrik-intriknya. Salah satu pengikut King Hu dalam adopsi style-style Barat itu adalah Tsui Hark yang juga jadi pelopor pembaharuan sinema Hongkong berikutnya sehingga sering dikelompokkan ke dalam HK newwave director. Hark yang kerap meracik lagi style itu dengan sentuhan genre fantasi meraih puncak karir terbesarnya lewat franchise ‘Once Upon A Time In China’ (disini lebih dikenal dengan ‘Kungfu Master’ yang sekaligus melambungkan nama Jet Li.
And so, sebuah karya klasik King Hu yang memulai semua itu, ‘Dragon Gate Inn’ (1966) melahirkan trend sejenis hingga dibuat ulang di tahun 1992 oleh Tsui Hark sebagai produsernya. ‘The New Dragon Inn’ (1992) yang diperankan Tony Leung Ka Fai, Brigitte Lin, Maggie Cheung dan Donnie Yen yang waktu itu masih menempel dengan imej antagonis sampai sekarang masih jadi tontonan wajib penggemar film-film silat. Tak hanya laris pada masanya, film itu juga sering dianggap sebagai salah satu film silat terbaik yang pernah dibuat. Trend teknologi 3D yang sudah merambah perfilman Hongkong dan Cina sekarang mungkin membuat Hark makin berambisi dalam pionir-pioniran itu. Dan ‘Dragon Inn’ kembali jadi pilihannya, sekaligus menandai reuninya dengan Jet Li setelah Donnie Yen menolak tawarannya. Namun Hark menolak anggapan ‘Flying Swords Of Dragon Gate’ sebagai sebuah remake, tapi lebih ke sebutannya, re-imagining. Sebagian besar elemen cerita aslinya berikut nama beberapa karakter masih diikutsertakan, namun plot yang mengambil set tiga tahun setelah terbakarnya ‘Dragon Inn’ sedikit membuatnya seolah sebuah sekuel. However, Hark mengkombinasikannya menjadi sebuah plot baru. Dan tak tanggung-tanggung, untuk memaksimalkan 3Dnya tak jadi gimmick sia-sia, bahkan dalam tampilan IMAX 3D, Hark menggamit Chuck Comisky, visual effects supervisor dalam ‘Avatar’nya James Cameron. The result, you’ll be the judge. But trust me, as most critics totally praised those 3D gimmicks, dari sisi itu, Hark sudah membawa sinema martial arts negaranya ke wilayah baru yang belum pernah dicapai sebelumnya.
Di masa pemerintahan Dinasti Ming, atas terbaginya Blok Barat yang dipenuhi pemerintah korup dan Timur di kalangan rakyat, muncul pejuang pemberontak yang dipimpin oleh Zhou Huai’an (Jet Li) yang mengambil jalur hukum mereka sendiri melawan kerajaan. Sementara Yu Huatian (Chen Kun), kasim kerajaan, tengah melacak jejak Jin Xiangyu (Mavis Fan), pelayan yang melarikan diri dari hukuman mati yang dijatuhkan atas kehamilannya. Xiangyu kemudian diselamatkan oleh pendekar wanita misterius Ling Yanqiu (Zhou Xun) sebelum Huai’an sempat beraksi. Yanqiu yang memiliki hubungan masa lalu dengan Huai’an membawa Xiangyu ke Dragon Gate Inn, penginapan tempat berkumpulnya para penjahat yang sulit ditembus prajurit kerajaan. Walau sudah terbakar beberapa tahun lalu, penginapan yang terletak di tengah padang gurun diatas sebuah istana tertimbun pasir itu kembali dipenuhi para perampok atas badai pasir 60 tahun sekali yang sekaligus jadi kesempatan mereka masuk mengambil harta karun yang tersimpan di dalamnya. Salah satunya adalah putri Tartar (Kwai Lun-Mei) dan anak buahnya. Pasukan Yu juga ikut menyusul dan berhasil masuk. Sebelum keributan terjadi antara mereka, penjahat wanita Gu Shaotang (Li Yuchun) dan partnernya, Windblade (juga diperankan Chen Kun) yang juga menginginkan harta itu tiba di Dragon Gate Inn. Kebingungan mulai terjadi atas kemiripan wajah Windblade dengan Yu di tengah siasat dan kepentingan masing-masing, termasuk dengan munculnya Huai’an. Sementara Yu siap menyerang Dragon Gate Inn bersama algojo kepercayaannya (Louis Fan), tepat di saat badai pasir dahsyat itu bisa datang sewaktu-waktu.
Dibanding dua versi sebelumnya, ‘Flying Swords Of Dragon Gate’ muncul dengan plot yang jauh lebih penuh twist. Selagi versi King Hu dan 1992 lebih fokus pada pendalaman karakternya, Tsui Hark membawa versi baru ini melangkah ke adu intrik tipu-menipu ala genre heist ke arah action dan adventure yang modern sekaligus seru dalam trend film-film sekarang. Ini mau tak mau mengorbankan penjelasan karakter yang tak tergali berikut chemistry yang lumayan mentah terutama antara Jet Li dan Zhou Xun sebagai tokoh utamanya. Subplot lovestory yang mengambil porsi besar di film-film sebelumnya tenggelam oleh inovasi twist itu. But let’s say, ini adalah pilihan seimbang yang memang sulit untuk dihindari. Paling tidak, akting para pendukungnya, di luar Jet Li yang tetap seperti biasa, kelewat tipikal, tampil dengan mantap terutama Chen Kun yang mampu menghadirkan aura berbeda dari double role-nya, Zhou Xun dengan ketangguhan swordswoman yang begitu hidup seperti Brigitte Lin di versi 1992 serta trio Mavis Fan, Li Yuchun dan Kwai Lun-Mei yang bergantian mencuri layar. Oke, permainan pedang mungkin bukan sesuatu yang paling diharapkan ketimbang tinju wu-shu ala Jet Li, dan penampilan Louis Fan serta aktor senior Gordon Lau bisa jadi kelewat singkat, namun gelaran koreografi martial arts dan detil set-nya bukan juga sekedar main-main. Selebihnya, yang paling bersinar adalah cara Hark memanfaatkan secara maksimal peran serta Comisky, shot-shot dan teknologi 3D-nya untuk tak jadi sekedar gimmick. Back to its basic why we want to watch 3D movies, Anda akan merasakan gerakan detil, ujung pedang, anak panah hingga badai pasir itu melayang tepat ke depan mata bersama sebuah total excitement. Dan oh ya, Hark juga menyempilkan tributenya ke end credits dibalik skor menggelegar besutan Wu Wai Lap ala film-film silat klasik dulu. Being another Tsui Hark’s next new wave in Wuxia Cinema, this is the one with spectacular treatment! (dan)
0 komentar:
Posting Komentar