Kamis, 08 Desember 2011

Pidato Jin Yong: Tokoh Sejarah dan Tokoh Cersil

Tahun 1994, saya (Jin Yong) pernah datang ke Taipeh untuk mengikuti suatu diskusi bersama tuan Yang Zhao dan tuan Zhan Hongzhi [yang diselenggarakan bersama oleh penerbit “Renjian”(人间) dan Yuan Liu (远流出版)].  Isi diskusi sangat padat, dan memberikan kesan terdalam dari berbagai kota yang sudah saya kunjungi. Tingkatan pendengarnya sangat tinggi, pertanyaannya cukup mengusik dan sangat dalam, membuat hati sangat gembira bisa ketemu dengan teman-teman dari Taipeh.

Hari ini melihat suasana di sini, rasanya seperti para yingxiong haohan (enghiong hohan) dari berbagai aliran datang ke sini untuk menghadiri pesta wulin (bulim). Sesungguhnya saya pribadi tidak senang pidato. Dulu waktu mengurusi “Mingbao” kalau ada pendapat ya saya tulis editorial. Tapi ini ada kekurangannya, yaitu monolog alias bicara seorang diri, tidak ada yang mengusik. Yang diomongi rasanya sudah benar, namun benar tidaknya sesungguhnya juga tidak tahu. Makanya saya tidak suka pidato, tetapi suka berdialog.


Edisi Fushihui (浮世绘) dari China Times (《中国时报》) menyelenggarakan “Jin Yong Chaguan” (金庸茶馆 - alias Café Jin Yong) (http://jinyong.ylib.com.tw/), awal mulanya mau menamakannya “Jin Xue Yuanjiu” (Penelitian  Jinology), tetapi empat huruf “Jinxue Yuanqiu” ini terlalu tinggi. Pertama, novel saya tidak bisa dianggap suatu cabang ilmu sehingga penggabungan kata Jin dan xue (Jinology) itu tidak mungkinlah. Tapi kalau bilang “Jin Yong Chaguan” atau Jin Yong Tea House, para pembaca yang tertarik bisa duduk mengobrol, saling kritik, memaki ataupun memuji, dan di hari pembukaan “Jin Yong Chaguan” ini, kalau ada apapun yang tidak mengenankan, baik dari diri saya ataupun novel saya buat semua yang berkumpul di sini, silahkan kemukakan keberatan itu.

Novel saya sejauh ini menulis tentang para tokoh, dan saya juga tertarik akan sejarah. Makanya kalau judulnya dibilang “Tokoh Sejarah dan Tokoh Cersil”, semua yang datang mendengar ceramah ini, rasanya pasti tertarik dengan tokoh-tokoh dalam novel saya. Dulu banyak orang pernah tanya saya, siapa tokoh sejarah yang paling saya sukai? Kalau biarkan saya pilih, saya ingin jadi tokoh sejarah yang mana? Sebenarnya orang yang paling enak dalam sejarah Tiongkok adalah Kaisar Qianlong (Kian Liong). Begitu lahir sudah jadi kaisar, tidak ada persoalan perebutan kekuasaan, juga tidak pernah melakukan peristiwa besar yang harus membakar dan membunuh orang, dan selama hidupnya menjadi kaisar yang tentram dan santai, sudah itu masih meletakkan dasar peta teritorial besar dari Tiongkok, kaya dan mulia sampai akhir hayat, tidak ada tragedi keluarga dan hidupnya sangat sempurna.

Latar belakang kebudayaan orang barat berbeda. Kita tahu epik tentang Iliad: Orang Yunani pergi menyerang kota Troy, gara-gara si jelita Helen. Sekarang Helen menjadi kata ganti keayuan di dalam masyarakat barat. Dalam mitology Yunani, ada tiga dewi. Satu adalah istri dari Dewa Yunani yakni Juno, satunya dewi pelindung kota Athens yang bernama Athena, satunya lagi dewi cinta Venus. Mereka bertiga selamanya merasa paling cantik, makanya mereka minta seorang pangeran dari kota Troy untuk menilai siapa yang tercantik. Penilaian ini, pilihannya lewat penyogokan tentu saja tidak adil. Kalau mau diomong, budaya dalam pemilihan model ini bukan saja paling jelek, juga sangat terbelakang.

Juno menyogok pangerannya, mau berikan dia semua emas dan kekayaan dunia. Athena mau berikan dia seluruh pengetahuan dunia, menjadikannya orang terpandai. Venus malah bilang, mau berikan dia wanita tercantik di dunia untuk dijadikan kekasih.

Pangerannya pikir, dia adalah seorang raja, kekayaan berlimpah, lalu jadi orang pandai bisa buat apa? Makanya dia putuskan memberikan apel emas kepada Venus, dengan harapan bisa mendapatkan wanita tercantik di seluruh dunia – dia mendapatkan Helen.

Kalau persoalan ini dijatuhkan ke kita sendiri, anda dan saya bakal melakukan pilihan yang bagaimana? Saya pikir mereka yang pilih paling kaya atau paling pintar pasti tidak sedikit, tetapi orang yang pilih wanita tercantik mungkin mengharapkan bisa dapatkan wanita yang paling dicintai. Wanita yang kamu cintai tidak selamanya harus paling cantik, dan paling cantikpun belum tentu kekasih yang terbaik.   Pemikiran orang barat dan orang Tionghoa sangat berbeda. Kalau anda tanya saya sebenarnya saya pengin jadi orang macam apa, saya selalu berharap bisa punya kepandaian dan kearifan yang bisa menyelesaikan banyak persoalan hidup manusia.

Para ahli filsafat dunia menginduksi kehidupan manusia akhirnya menemukan bahwa kehidupan manusia sesungguhnya penuh duka derita, banyak masalah tidak bisa diselesaikan. Sakyamuni bicara tentang hidup, tua, sakit, mati semuanya penuh duka. Ajaran Budha juga bicara tentang Appiyehisampayoga (怨憎会)[1] atau berkumpul dengan yang tak disenangi, dimana orang yang kita sendiri tidak senangi selalu saja mengikuti kita setiap saat ibarat bayangan yang mau dipisah pun susah pisahnya. Ini semacam duka. Ada lagi Piyehivippayoga ‘berpisah dengan yang dicinta’ (爱别离)[2]. Berpisah dengan orang yang sangat dekat dengan kita juga suatu kedukaan. Ada lagi Yampiccam nalabhati tampi dukkham “niat tak sampai” (求不得)[3], di mana orang menginginkan sesuatu tetapi pada akhirnya tidak mendapatkan. Ingin meneliti suatu ilmu, tetapi selalu tidak bisa mengerti. Ingin masuk ke universitas tertentu tetapi tidak diterima; ingin berdagang untuk mendapatkan sedikit keuntungan tetapi sepeser pun tidak dapat; ingin berkembang ke arah baik tetapi tidak berhasil. Pokoknya di dunia ini banyak hal yang tak bisa dicapai, dan karena keinginan yang tak kesampaian ini jadi menderita.

Kita tahu, cara mengatasi hal ini dalam agama Budha yakni berupaya menjadi bijaksana. Setelah arif dan bijak, maka segala urusan duka derita ini pun bisa dipecahkan, karena bisa melihat bahwa kesulitan hidup ini tak bisa dihindari. Bijaksana dan pintar tidaklah sama. Pintar bisa menyelesaikan masalah kecil, sedangkan bijaksana bisa menyelesaikan persoalan besar. Kalau niatnya tidak kesampaian, ya tidak usah berniat untuk mendapatkan. Tanpa niat jadinya tiada duka. Orang Tionghoa bilang “人到无求品自高” artinya “manusia mencapai taraf tanpa niat tingkatannya sempurna sendiri”. Seseorang kalau tidak ngotot mengejar sesuatu, tentu bersifat mulia. Sebaliknya kalau ingin merebut sesuatu, tentu akan merendahkan diri. Kalau sudah mencapai taraf tak ada lagi yang dikejar, sifatnya bertambah suci dan agung, santai semau gue. Untuk mencapai taraf ini, tentu saja harus sangat bijaksana. Dulu ada juga orang yang bertanya pada saya, ingin jadi dua tokoh mana dalam sejarah Tiongkok? Saya bilang saya ingin menjadi dua orang pintar Fan Li[4] dan Zhang Liang (Thio Liang)[5]. Mereka berbuat jasa besar, tetapi setelah berhasil mereka malah mengundurkan diri, tidak tamak, juga tidak menjadi pejabat tinggi, membawa istri cantik mereka santai bertamasya ke berbagai penjuru. Orang begini sukar di dapat.

Zhang Liang hebat, tetapi ada teman yang merasa Fan Li lebih hebat, karena setelah pergi bersama wanita tercantik dan tidak menjadi pejabat, dia menjadi Taozhu Gong dan berdagang, jadi kaya, kedengarannya seperti kehidupan yang ideal. Tetapi jalan pikiran ini sesungguhnya sangat egois, setelah semua keinginan terpenuhi, tidak ada manfaat apapun pada orang lain. Fan Li di samping berjasa besar membantu negeri Yue membasmi negara Wu, tidak ada lainnya lagi. Zhang Liang malah masih membantu Liu Bang mendirikan dinasti Han – mungkin kedua orang berpengetahun ini pada dasarnya punya banyak prestasi, tetapi sumbangannya berbeda. Kalau bicara tentang Wuxia (Bu Hiap), saya merasa Wuxia Xiaoshuo harus merubah namanya menjadi Xiayi Xiaoshuo atau Hiap Gi Siao Suo. Walaupun ada silat dan perkelahian, sesungguhnya cersil yang saya sendiri paling suka penekanan utamanya bukan di ilmu silatnya, tetapi dalam Xiaqi atau Hiap Khi – nafas kesatriaan dalam tokoh yang mengandung xia (hiap atau satria) dan ada yi (gi atau keadilan, pantas….). Di Taiwan sangat banyak orang yang memuja Guan Gong (Kwan Kong dalam Sam Kok). Kehebatan ilmu silat Guan Gong tak dipersoalkan, tetapi yang begitu dihormati banyak orang adalah urusan dia sangat menjunjung Yiqi  (Gie Khi), dan di kalangan rakyat jelata disebut Guan Gong (atau Lord Guan), dan kedudukannya sama tinggi dengan Diwang Yue (Ti Ong Ya alias para kaisar dan raja). Yiqi atau rasa satria (budi, honor dan integritas) adalah nilai moral yang sangat ditekankan dalam masyarakat Tionghoa. Orang asing bicara soal kasih di antara sanak famili, orang Tionghoa selain kasih, masih bicara tentang Yi  (Gie) atau budi. Jadi selain kasih masih harus ada budi. Sekedar kasih saja tidak laku. Kalau berdagang dan urusannya tidak jadi, tak ada persoalan. Yang penting masih ada ‘yi’yang tersisah, dan ini yang dimaksudkan “jual beli batal pun budi keadilan tetap dipelihara” (买卖不成仁义在). Dalam cersil walaupun dalam kondisi apapun, ‘yi’ ini tetap dipertahankan dari awal sampai akhir. Tokoh sejarah atau tokoh silat, ‘yi’ adalah tolok ukur kritik yang penting sekali. Orang asing bertanya pada saya, apa definisi ‘xia’? Soalnya orang asing selalu berpendapat, yang dimaksud dengan xia itu asal taat pada suatu aliran agama, suatu organisasi, maka moralnya sangat tinggi, tetapi ‘xia’-nya orang Tionghoa meliputi urusan membantu orang lain tampa pamrih, bahkan ada kemungkinan bisa mengorbankan diri sendiri. Dalam cersil yang saya tulis, ada yang menganggap ilmu silatnya paling jago, terus saja mencari orang untuk ‘biwu’ (pie bu), menghantam lawannya sampai mati. Orang begini tidak mengandung apa yang dimaksud ‘xia’ (hiap) atau ‘bukan xia’ (pendekar atau bukan pendekar), karena yang dicari hanya nama dan kedudukan. Bertanding dengan orang lain untuk menguasai dunia sebenarnya juga bukan hal yang jelek, tetapi juga tidak kelihatan sebagai hal yang baik. Ada orang yang demi temannya, cari orang untuk membalas dendam, dan mendapatkan kepuasan bathin sudah bisa balas dendam. Tidak jelek tetapi juga tidak baik. Menurut pandangan saya, tindakan satria bijak (xia yi atau hiap gie) adalah tindakan di mana diri sendiri tidak mendapatkan kebaikan apa-apa, malah ada kemungkinan bisa mengorbankan jiwa sendiri. Harus demi negara demi rakyat, dan ini adalah personaliti ideal mengenai kebesaran satria.

Berjuta orang ikut melamum mengelantur bersama saya. Asyik bukan?


Tanya: Dalam tokoh wuxia ciptaanmu, siapa yang merupakan jelmaan anda?

Jawab: Tidak ada jelmaan saya di dalam novel saya. Tokoh novel hanya dalam pemenuhan imajinasi sendiri, saya suka berandai, kalau saja saya jadi orang ini, bagaimana reaksi saya? Kalau saya punya ilmu silat ini, mau menghadapi orang ini, harus bertindak bagaimana? Ada sikap yang saya berharap bisa saya miliki. Ilmu silatnya tinggi, orang membalas dendam pada dirinya, dia tidak menyimpan dendam juga tidak membalas dendam, selalu bersikap “sudahlah, sudahlah!”


T: Dalam karya wuxiamu, penuh dengan laku satria, tetapi akhirnya selalu mengundurkan diri dari sungai telaga pergi bertapa. Tolong jelaskan bagaimana pandangan konkrit anda mengenai pengunduran diri pergi bertapa?

J: Mengundurkan diri dari sungai telaga hanya cocok di masyarakat kuno. Kalau memakai pandangan sekarang tentu tidak masuk akal. Tetapi tokoh wuxia selain mengundurkan diri dari sungai telaga dia tidak punya jalan keluar lain. Kalau ilmu silatmu hebat, kumpulan sekelompok orang lalu guling dinasti yang ada dan mengangkat dirimu jadi kaisar mungkin lebih memuaskan. Tetapi seperti Ming Taicu Zhu Yuanzhang (Beng Tay Cu Goan Ciang), mengumpulkan orang-orang yang merasa kerajaan Yuan tidak baik lalu berontak menggulingkan dinasti itu, terus menjadi kaisar. Tetapi jadi kaisar juga tidak baik, makanya orang-orang yang tidak puas malah biarkan dia ngawur sendiri, dan mereka tidak ikut campur. Mau campur terus tidak ada penyelesaian, karena setiap pemberontakan, alasannya untuk kesejahteraan rakyat, semua ini alasan yang sangat mulia. Begitu membentuk dinastinya sendiri, balik lagi menindas rakyat. Gimana jadi kaisar bisa jadi begini? Orang-orang ini lihat tidak mengena di hati, jadi setelah membantu menyelesaikan urusan, mereka pun pergi, tak mau ikut campur lagi.


T: Dalam novel anda, tokoh prianya pasti disenangi segerombolan tokoh wanita, seperti halnya dalam novel Qiong Yao pasti ada satu tokoh wanita yang disenangi segerombolan pria. Bagaimana pandangan cinta anda? Selain itu, dalam novel anda, sifat tokoh wanita tidak seperti sifat tokoh pria yang sudah lebih matang, apakah tidak ada semacam penyesalan? Apakah pernah terpikir untuk memakai seorang nuxia (lihiap) sebagai tokoh utama novel anda?

J: Saya lelaki, jadi tidak ada jalan untuk mengerti psikologi wanita secara keseluruhan. Kalau memakai pendekar wanita sebagai tokoh utama, mau membayangkan kemungkinan dia akan bertindak bagaimana selanjutnya bukan suatu hal yang mudah. Kalau menulis tentang pria, pasti bisa bereaksi untuk urusan begitu. Lebih gampang. Kalau mau berantem, juga tidak perlu keramas dan bersolek dulu baru keluar.


T: Bagaimana sih cara untuk menulis sebuah cersil? Bagaimana cara mencari bahan dan menyusun plot? Novel anda komposisinya detail dan rumit. Seringkali lihat sampai bagian akhir sudah lupa bagian depan, tetapi depan belakang saling menyambung, susunannya sangat mengasyikkan. Mohon dijelaskan apakah ini melalui pelatihan yang teliti, berdasarkan simulasi di medan pasir buatan?

J: Saya menulis novel biasanya satu hari tulis satu bagian, ada yang sekali tulis sampai 2, 3 tahun. Terkadang sudah tulis sampai belakang lupa apakah sudah dibahas di depan. Kadang tidak punya waktu menulis garis besar untuk diperluas kemudian, namun di saat sampai ke tangan pembaca pasti sudah terangkai rapi.


T: Dalam novel anda, khususnya mengenai seni catur, ilmu silat, ilmu kedokteran, pengetahuan agama Budha, semuanya sangat dalam membuat orang pada kagum. Mohon penjelasan dalam kehidupan nyata, bagaimana bisa menciptakaan kedalaman penguasaan dalam hal itu? 

J: Menulis novel yang kamu mengerti ya ditulis, kalau tidak mengerti ya tidak usah ditulis. Tidak seperti mengajar, kalau ada murid mengajukan pertanyaan, tidak mengerti bisa berabe. Menulis cersil seluruhnya dikontrol oleh pengarang. Yang kamu tidak mengerti, tokoh dalam bukumu pun juga tidak mengerti dong! Menulis novel bisa dicari perlahan-lahan, kalau tidak ketemu, ya ganti penyakit lain, ganti juga obatnya. 


T: Boleh tanya apa alasan anda berhenti menulis?

J: Sekarang menulis novel sudah tidak ada dorongan lagi. Dulu demi oplah koran. Sekarang korannya sudah tidak saya urus. Menulis novel itu sangat payah dan sangat menderita. Apalagi kalau dimuat sebagai serial setiap hari harus menulis sepotong dan tidak bisa berhenti. Kalau mau tamasya ke luar negeri, jika bukan tulis dulu beberapa bagian lalu ditinggalkan, maka harus dibawa ke luar negeri. Malam hari tidak tidur dan ngoyo menulis, begitu pagi hari langsung kirim surat express. Tekanan batinnya luar biasa. Di kemudian hari saya juga berharap ada waktu berlimpah untuk menulis novel lagi. Menulis yang banyak unsur hiburan, jadi sesudah tulis bisa ikut gembira karena bisa berbagi pengalaman saya. Namanya juga melamun mengelantur seenak sendiri, beribu-ribu orang juga ikut mengelantur dengan saya. Asyik bukan? Novel sejarah benaran mungkin bisa membiarkan Wei Xiaobao beristeri tujuh, tetapi tidak bisa membiarkan Wei Xiaobao berperang dengan Rusia.


T: Kenapa anda menganggap dinasti Song adalah zaman kejayaan Tiongkok? Berdasarkan penekanan mereka yang berlebihan pada kesusastraan dan mengabaikan kemiliteran, bisakah itu menjadi landasan yang cukup untuk ketentraman dan pengembangan?

J: Dinasti Song adalah masa jayanya Tiongkok. Waktu itu masa awal pertumbuhan kapitalisme, semua sumber daya pembangunan berkembang pesat. Bukan saja produksi, teknologi, kebudayaan, kesenian seluruhnya tertinggi di dunia. Rusia, Amerika belum berkembang, Inggris, Prancis, Jerman mau bandingkan dengan dinasti Song masih jauh ketinggalan. Setiap zaman ada baik buruknya. Harus bisa introspeksi secara keseluruhan. System kepegawaian, system ujian semuanya maju, rakyat tentram. Tetapi negaranya lemah, jadi sering diserang orang.


T: Menurut penilaian anda, apakah Kangxi Huandi (Kaisar Kang Shi) bisa dianggap Kaisar Nomor Satu Tiongkok? Lalu pandangan anda terhadap Gongzi (Khong Hu Cu)?

J: Di antara kaisar Tiongkok, penilaian saya buat Kangxi tinggi sekali. Dia bukan saja pikirannya cemerlang, juga rajin belajar, sampai dia belajar juga pengetahuan luar negeri. Selain itu saya juga sangat menikmati Han Wendi (Kaisar Han Bun Ti). Kesopanannya luar biasa. Sebelum meniggal, dia menulis surat wasiat bilang selama hidupnya dia banyak berbuat salah dan merasa berdosa, terus meminta maaf pada rakyat seluruh negeri. Sikap ini susah didapat. Kalau ada bencana alam seperti gempa bumi atau banjir, dia lalu menulis artikel dan mengumumkan ke seluruh negeri, bilang karena dia tidak becus kerja, maka dia mendapat kutukan Tuhan. Dirinya merasa bersalah, dan melakukan kritik pada diri sendiri. Dahulu kala Kaisar itu adalah orang suci. Tak pernah ada waktu untuk membuat kesalahan. Yang salah itu orang lain. Selain itu Han Guangwu Di (Han Kuang Wu Ti - 汉光武帝) dan dinasti Han juga sangat baik, sangat bijak dan lapang dalam memperlakukan kawulanya.     

Gong Zi (Kong Hu Cu) adalah Wanshi Shibiao (万世师表, julukan kehormatan buat Gongzi). Ajarannya tiada dua. Dalam jiwa setiap orang Tionghoa ada peninggalan ajaran Gong Zi, terutama ajarannya mengenai “Keji Fuli” (克己复礼). Keji berarti bisa mengatasi niat yang berlebihan dari diri sendiri, sedangkan ruang lingkup li atau tatakrama sangat luas, meliputi sistem penguasaan, budaya, hukum dll.  

Filosof Prancis Rousseau pernah menulis sebuah buku berjudul “Kebebasan dan struktur[6]”. Di abad ke 18 dan 19, persoalan paling sulit adalah upaya individu untuk mengembangkan individualisme, meraih kebebasan. Tetapi di belakangnya ada yang namanya negara. Kalau terlalu memperjuangkan kebebasan individu, struktur negara jadi tidak berdaya. Akibatnya negara bisa menjadi kacau. “Keji Fuli”-nya Gongzi adalah pengekangan diri sendiri dalam  kebebasan individu,  pembentukan sistem dan tatanan negara, menyelesaikan pertentangan, akhirnya mencapai ketentraman. Lebih dari dua ribu tahun yang lalu Gongzi sudah mempunyai pandangan bahwa setiap masalah berawal dari “ren” alias kebajikan, betul-betul tokoh luar biasa.


T: Mana perbedaan terbesar antara novel sejarah dan cersil? Adakah bagian dari karya penulis novel sejarah terkenal, tuan Gao Yang (Kao Yang) yang bisa kita pakai untuk berefleksi? Kalau anda menulis “hong ting shang ren” atau pedagang bertopi merah[7], bagaiman anda akan menginterpretasi?

J: Saya sangat senang dengan novel tuan Gao Yang. Novel sejarah ada suatu lingkup dasar, yang dikekang oleh peristiwa sejarah. Kendalanya agak banyak, ruangan untuk imajinasi agak kurang. Misalnya “Luding Ji” agak menyerupai novel sejarah. Tetapi novel sejarah benaran bisa saja mengizinkan Wei Xiaobao untuk menikahi tujuh istri, tetapi tidak bisa menciptakan pertempuran antara Wei Xiaobao dan Rusia.


T: Bagaimana penilaian anda terhadap kedua orang Cao Cao dan Wu Zetian ini?   

J: Dari sudut sejarah kedua orang ini termasuk luar biasa. Cao Cao pernah dengan bangga mengatakan, kalau tidak ada saya, di akhir zaman Dong Han (Tong Han atau Han Timur), rakyatnya terbunuh dan semua yang hidup binasa, para raja saling berebut kekuasaan. Karena sayalah kehidupan rakyat jadi mendingan. Perkataan dia ini benar. Soalnya saat itu setiap penguasa berebutan posisi, pedagang mencari nafkah mau lewati berbagai pegunungan harus lewat berbagai pos jaga, begitu juga pegawai bea cukai tak habis-habisnya memungut pajak, mana tahan rakyat jelatanya? Begitu disatukan, perjalanan bisa dilalui tanpa berbagai halangan, dengan sendirinya ekonominya juga ikut berkembang, sehingga ada kontribusinya pada perekonomian Tiongkok. Sayangnya setiap menguasai suatu kota, dia lalu perintah untuk melakukan pembantaian. Itu terlalu kejam dan sebenarnya tidak perlu. Kalau saja dia tidak melakukan ini, dia sudah bisa menyatukan Tiongkok waktu itu.   


T: Bagaimana pandangan anda terhadap tuan Shu Dongpo (Su Tong Poh)? 

J: Shu Dongpo itu serba bisa. Kaligrafi, melukis, sajak, syair, esai, dan sikapnya terhadap orang lain semuanya termasuk kelas satu. Kemampuannya sendiri juga baik. Yang lebih bikin kagum lagi adalah, baik ayah maupun adiknya adalah sastrawan kelas satu juga. Kebetulan seperti ini susah dicari.


T: Apakah anda punya idola atau orang yang anda puja?

J: Dalam sejarah saya sangat memuja Yue Fei (Gak Hui). Dia demi negara, berperang melawan musuh dari luar, korbankan kepentingan sendiri tetapi akhirnya difitnah sampai mati. Saya juga memuja Shima Qian (Suma Kian) dan Shima Guang (Suma Kong).


T: Huang Rong (Oey Yong) cocok tidak untuk hidup di zaman sekarang? Dia bisa tidak mengikuti test masuk bersama? 

J: Huang Rong kalau ikut test masuk bersama, saya curiga dia bisa main kerpekan. Dia sangat pintar. Belajar fisika atau matematika cepat sekali, tentu tak perlu mengerpek. Tetapi sikapnya yang perfeksionis, kalau ada soal yang dia tidak bisa jawab, dia pasti berusaha untuk mengerpek, dan sudah kerpek pun gurunya tidak bisa temukan.


T: Siapa dalam tokoh wanita novelmu yang paling ingin anda kawini?

J: Banyak orang laki menganggap, wanita sebaiknya jangan terlalu hebat. Makanya kalau Huang Rong (Oey Yong) jadi istri, semua pasti takut. Kebebasan bergerak jadi hilang, makanya saya paling tidak suka beristrikan Huang Rong.


T: Bagaimana anda memperlakukan Wei Xiaobao? Kenapa separuh bagian depannya Wei Xiaobao sangat ramah, tetapi separuh bagian terakhirnya sangat sembrono dan jahat?

J: Ini adalah konsekuensi proses pertumbuhan lelaki. Secara umum, sikap lelaki terhadap cinta adalah, semakin tua semakin berkurang. Di satu sisi pengalamannya bertambah, tetapi di sisi lain, kondisi materi dan kekuasaan juga bertambah, makanya kesempatan untuk menghina wanita juga bertambah.


T: Bagaimana cara anda menciptakan tokoh seperti Yue Buqun ini, apakah ada kaitan dengan kehidupan di sekeliling? Apakah bisa diadakan semacam analisa psikologis bertahap? 

J: Saya membayangkan tokoh Yu Buqun (Gak Pu Cuen?) ini langkah demi langkah. Perangai, usia, beberapa sifat khususnya, motivasinya bagaimana, dan apa yang menjadi landasan dia untuk mencapai apa yang dia inginkan? Berdasarkan kemampuan dan sifat dia, apa saja tindakan yang bisa dia ambil untuk mencapai tujuannya, dan kalau mengalami kesulitan bagaimana dia atasi? Psikologi seperti Yue Buqun ini, bisa saja timbul dalam diri banyak orang. Tetapi orang biasa ilmu silatnya tidak setinggi dia, dan jalan pikirannya juga tidak sejelimet dia saja. Saya memang menekankan bagian mengenai rencana jangka panjang dia, sedangkan orang yang dalam kehidupan sehari-hari banyak menggunakan akal  muslihat, di mana-mana bisa dijumpai.      

Dogma tidak praktis, makanya bertolak dari tanpa jurus, tidak ada patokan pasti. Bila terjadi sesuatu, langsung diselesaikan berdasarkan apa yang ada.


T: Anda sendiri kemungkinan adalah tokoh sejarah buat generasi yang akan datang. Bagaimana pandanganmu mengenai posisi anda ini? Antara tokoh sejarah dan politik, mestinya bersikap bagaimana?

J: Tokoh sejarah dalam tradisi Tiongkok sepanjang ini tak bisa dipisahkan dari politik. Shima Qian (Suma Kian) waktu menulis biografi dalam Shiji[8] menggunakan tokoh individu sebagai peran utama, dan menempati urutan nomor satu di seluruh dunia. Tidak ada orang yang pernah menulis lebih dini dari Shiji. “Lives of Noble Grecians and Romans”[9] yang terbit kemudian juga menggunakan individu sebagai thema, tetapi itu sudah di kemudian hari. Tradisi masyarakat Tiongkok secara keseluruhan sangat memperhatikan politik. Selain tokoh politik, berbagai tokoh lain dalam buku sejarah biasanya ditempatkan dalam posisi yang tidak penting. Misalnya dalam “Rulin Zhuan” atau “Kisah Para Cendekia”, “Lienu Zhuan” atau “Kisah Wanita Ternama”, “Jianren Zhuan” atau “Kisah Para Pengkhianat”, walaupun peran utamanya adalah individu, tetapi tidak dalam posisi yang terpandang seperti tokoh politik. Sedangkan apakah saya pribadi bisa tidak menjadi tokoh sejarah sebenarnya tidak penting. Saya hanya berharap setelah 100, 200 tahun kemudian, masih ada orang yang senang baca buku saya. Masih kebagian satu meja tamulah.


T: Tolong jelaskan batasan “tanpa jurus menangi ada jurus”?

J: Dogmatisme sesungguhnya masih ada dalam masyarakat. Apapun pasti ada ‘isme’-nya. Sedikit-sedikit orang suka bilang “Mao Zhedong (Mao Ce Tong) pernah bilang”, “Sun Zhongshan (Sun Yat Sen) pernah bilang”, “Marx pernah bilang”. Semua jurus ini sudah ditentukan. Padahal perubahan  masyarakat ada beribu variasi, banyak hal yang orang zaman dahulu tak pernah pikirkan. Misalnya teknologi network komputer, rasanya Lenin maupun Sun Zhongshan pun tak pernah berpikir sampai ke sanalah. Dogma itu tidak praktis, persis seperti tanpa jurus, tidak punya patokan yang pasti. Kalau ada sesuatu kejadian, ya pakai cara yang nyata untuk menyelesaikannya. Ibarat biwu (pibu), lihat jurus apa yang digunakan lawan, lalu cari kekurangannya, sekali tikam langsung mematikan. Ini maksudnya ‘tanpa jurus’.


T: Tolong jelaskan bagaimana cara tokoh silat dalam novel anda mencari nafkah hidup mereka?

J: Ada tokoh silat membuka biaoke (piao kek) untuk mencari nafkah, dan ini termasuk kelas bawah. Ada beberapa perguruan sebenarnya adalah tuan tanah, seperti Wudang pai (Bu Tong Pai), bisa menghidupi diri. Tetapi ada perguruan yang rada miskin, seperti Linghu Chong dari Huashan pai, kalau tidak dikasih uang sama suhunya, dia bahkan tidak punya uang untuk membeli arak. Para pendekar ini lebih banyak yang melarat. Tapi karena kegiatan ekonomi bukan tema utama dalam cersil, maka biasanya bagian ini diabaikan.


T: Apakah dalam kehidupan nyata pernah temukan orang yang perangai dan sifatnya menyerupai tokoh dalam cersil?

J: Saya rasa tak bakalan, karena tokoh dalam novel semuanya terlalu dibumbui. Pada dasarnya tidak ada tokoh wanita atau tokoh pria yang menarik. Semua itu tidak realistis.


T: Tokoh wanita dalam novel pada umumnya cantik laksana kembang, hanya Cheng Lingsu yang  perangainya agak lain daripada yang lain. Mohon dijelaskan apa motivasi dalam menciptakan tokoh ini?

J: Wanita yang manarik tidak harus cantik, karena cantik tidaknya adalah pembawaan dari kandungan, tak bisa diusahakan sendiri. Tapi orang yang cantik belum tentu baik. Dalam novel saya, tokoh wanita baik yang cantik, tentu saja suatu karunia Tuhan, namun hal seperti ini jarang ditemukan. Paras terlalu cantik barangkali semacam kekuranganlah. Mentang-mentang cantik terus tidak ikuti aturan. Kadang tindakannya keterlaluan juga dibiarkan. Semua ini tentu saja tidak baik untuk yang bersangkutan. Cheng Lingsu sangat menarik, orangnya juga pintar, berperasaan dan setia, susah didapat. Manusia tak bisa hanya berpatokan pada paras dan rupa, karena paras dan rupa sama sekali tak ada hubungan dengan sifatnya.


T: Kenapa Yang Guo (Yo Ko) tidak sesuai dengan masyarakat nyata, sedangkan Linghu Chong (Leng Hou Tiong) malah sesuai?

J: Yang Guo (Yo Ko) adalah orang yang non-kompromis, sedang Linghu Chong (Leng Hou Tiong) agak gampangan dan sembarangan. Kalau ketemu persoalan dalam masyarakat juga tak terlalu dimasukkan ke hati. Dia agak santai, setiap persoalan baginya tidak ada pakem yang pasti.


T: Huang Rong (Oey Yong) yang kayak bidadari, kenapa mesti jatuh cinta sama kunyuk Guo Jing (Kwee Ceng) yang bego ini?

J: Cinta punya fungsi pelengkap. Orang yang kamu senangi, sifatnya bisa berbeda sekali dengan sifatmu. Seperti Huang Rong yang pintar begini, ketemu Guo Qing yang begitu polos, bisa menikmati nilai sifat mereka masing-masing.


T: Apa anda pernah menonton film, TV yang sudah direvisi? Siapa yang anda rasa perannya paling memuaskan?

J: Novel saya revisinya banyak, sudah itu para sutradara juga suka merubah. Setelah melihat saya tidak puas sekali. Saya rasa novel itu panjang jadi kalau dipotong tak ada masalah. Tapi sebaiknya jangan ditambah. Susahnya, di film atau TV, kegemaran mereka ya suka tambah sana sini. Contohnya dalam She Diao Ying Xiong Zhuan (Sia Tiauw Eng Hiong), Huang Youshi (Oey Yok Shu) koq piara kucing. Dalam tradisi Tiongkok piara anjing itu masih bisa dimaklumi, tetapi yang piara kucing jarang sekali.


T: Apakah tokoh sejarah dalam novel bisa dipengaruhi perasaan pribadi, jadi kalau yang disenangi ya tulisnya agak baikan, sedangkan yang tidak disenangi ya dijelek-jelekkan?

J: Tentu saja. Tambahkan tokoh sejarah maunya kan untuk menambahkan bumbu faktual, lalu dengan dukungan tokoh sejarah, pembaca bisa menganggap bahwa kebenaran ceritera bisa lebih dipercaya. Tetapi gara-gara itu pula banyak lamunan pribadi yang ikut terbawa.


T: Percintaan Yang Guo (Yo Ko) dan Xiao Longnu (Siao Liong Li) dalam kenyataan tidak bisa ditolerir, selain mengasingkan diri, masih adakah jalan lain di mana percintaan itu bisa dipertahankan?

J: Sifat kedua orang ini dan masyarakat feodal dinasti Song sulit didamaikan. Kalau tidak mengasingkan diri, malah bisa bikin porak poranda dan menimbulkan banyak persoalan di dunia kangouw. 

Tamat.

________________________________________

[1] Appiyehisampayoga 怨憎會:不喜歡的人常常碰見. atau orang yang tak disenangi malah sering ketemu.

[2] Piyehivippayoga 愛別離:親人朋友不能常在一起. Tak bisa selalu berkumpul dengan sanak famili.

[3] Yampiccam nalabhati tampi dukkham 求不得: 希望得到的常得不到. Yang diinginkan selalu tidak bisa kesampaian.

[4] 范 蠡, Fan li. Tahun kelahiran/kematiannya tidak jelas. Orang Zhu dari zaman Chunqiu. Pernah bersama Wen Zhong bekerja pada raja Yue selama 20 tahun. Memiliki beberapa nama, seperti Chiyi zhipi atau kulit buli-buli tempat menyimpan anggur. Satu nama lagi Tao Zhugong, yang dipuja sebagai dewa kekayaan di sebagian tempat.

[5] 張 良, Zhang Liang, seorang menteri ternama di awal dinasti Han. Meninggal sekitar tahun 186 SM. Liang adalah seorang putra mahkota Negeri Han (韓國) di zaman perang sekitar 260 SM, tetapi setelah negeri Han dimusnahkan oleh Qin (秦), Liang sangat dendam dan berusaha membunuh Qin Shihuang tetapi gagal dan pergi menyembunyikan diri di kecamatan Pei di daerah Jiangshu (Kiang Shu) dan belajar dari pertapa Huang sebelum akhirnya menjadi pembantu Liu Bang dari dinasti Han.

[6] Judul bukunya dalam bahasa Tionghoa adalah 自由与组织 “Ziyou yi zuzhi” atau “Kebebasan dan Organisasi”. Saya tidak temukan judul dalam bahasa Inggris. Kalau ada yang tahu judul buku ini, mohon dikoreksi. Apakah ini salah satu bab dalam Social Contract-nya Rousseau yang membahas relasi manusia dengan masyarakat?

[7] Topi merah adalah warna topi pejabat tinggi zaman Qing, dan pedagang bertopi merah maksudnya pedagang yang mengelilingi para pejabat itu. Dalam bukunya dengan judul yang sama, pengarang Taiwan Gao Yang mengisahkan ceritera tentang seorang kapitalis di akhir zaman Qing bernama Hu Xueyuan (Ouw Soat Goan) yang bermodalkan dengkul tetapi akhirnya bisa menjadi bankir yang sukses. Hanya karena keterkaitannya dalam penumpasan pemberontakkan Taiping dan kerjasamanya dengan pemerintah, interpretasi dari sisi Hu Xueyuan belum tentu sesuai dengan interpretasi yang diterima umum sekarang.

[8] Shiji ditulis oleh Shima Qian (145 – 87SM) di zaman dinasti Han. Ada 130 jilid. Kisahnya mulai dari zaman Huang Di (Yellow Emperor) sampai Han Wudi (156 – 87SM) yang meliputi sekitar 3000 tahun.

[9] Referensi yang saya temukan, karya Plutarch ini beredar sekitar tahun 75 – 100 Masehi, sehingga ada tenggang waktu 100 tahun lebih di antara kedua karya besar ini.


Catatan Penulis:

Dua tahun terakhir ini, saya sempat menerjemahkan beberapa artikel, ceritera bahkan puisi berbahasa Tionghua, terutama buat sharing dengan teman-teman di yahoogroup Tjersil (Tjeritera Silat). Ada juga yang sempat saya kirim ke milis Budaya Tionghua. Beberapa tahun lalu di Parokinet, saya juga sempat menerjemahkan beberapa bab dari Dao De Jing, tetapi tidak pernah selesai. Dari pada bahan-bahan itu terlupakan begitu saja, akhirnya saya putuskan untuk mulai menghimpunnya di situs ini. Karena kendala waktu, saya akan tambahkan satu persatu. Apa yang ada di sini bukanlah bentuk final. Sewaktu-waktu bila saya temukan kesalahan, saya akan mengubah teks yang ada. Segala komentar dan kritikan akan saya terima dengan senang hati. Silahkan kirim komentar langsung kepada saya.

Terima kasih.

ARIS TANONE [http://home.hiwaay.net/~atanone/Terjemahan/]



Copas dr: http://web.budaya-tionghoa.net/home/1085-pidato-jin-yong-tokoh-sejarah-dan-tokoh-cersil

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...